Perancangan
peraturan perundang-undangan/Legal drafting dapat diartikan sebagai proses
penyusunan kegiatan pembuatan peraturan yang dimulai dari perencanaan,
persiapan,teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan
dan penyebarluasan. Peraturan
perundang-undangan terdiri dari berbagai jenis yang sekaligus
membentuk hirarki peraturan perundang-undangan. Seluruh jenis
peraturan perundang-undangan tersebut dirancang atau dirumuskan oleh kekuasaan
legislatif bersama-sama dengan kekuasaan eksekutif, Dengan demikian kemampuan
atau keahlian dalam merancang peraturan perundang-undangan merupakan suatu
keharusan bagi aparatur pemerintahan yang berada di kedua lembaga tersebut.
Terlebih lagi jika lingkup tugas dan kewenangannya senantiasa berhubungan
dengan kepentingan publik.
Akan
tetapi, berbagai laporan menunjukkan bahwa masih banyak peraturan
perundang-undang baik di tingkat pusat maupun daerah yang bermasalah, bahkan
bertentangan satu sama lain, Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya rancangan
peraturan perundang-undangan yang mengesampingkan aspek sosiologis dan partisipasi
public atau masyarakat dalam merancang suatu peraturan baru yang nantinya dapat
menimbulkan kesulitan dalam implementasinya bahkan bisa menimbulkan implikasi
hukum yang fatal.
BAB
I
BAB
I.I PENDAHULUAN
Pengertian
perundang-undangan dalam hukum positif Indonesia disebutkan dalam Pasal 1 angka
2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, yang menyatakan bahwa “Peraturan Perundang-undangan
adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”.
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan
Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan (vide; Pasal 1 angka 1 UU 12 2011). Dalam membentuk Peraturan
Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a.
kejelasan tujuan;
b.
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c.
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d.
dapat dilaksanakan;
e.
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.
kejelasan rumusan; dan
g.
keterbukaan.
Materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan asas sebagai berikut; pengayoman,
kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan,
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian
hokum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Selain mencerminkan
asas-asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas
lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Hal-hal tersebut diatas tertuang dan diatur dalam bab II asas pembentukan peraturan
perundang-undangan pasal 5 dan 6 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
BAB
I.II MOMENTUM
Sebelum
melakukan perancangan suatu peraturan atau undang-undang sebaiknya kita harus
memperhatikan empat momentum perancangan sebagai berikut;
- Momentum
ideal/idiil : bahwa momentum ini membentuk undang-undang dengan meletakan
landasan filosofis berdasarkan filsafat bangsa Indonesia yaitu Pancasila (vide; Pasal 2 UU No.12 Th.2011
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan). Notonegoro mengemukakan
ada tiga nilai fundamental yang berkaitan dengan nilai filsafat pancasila
yaitu ; 1. Materiil (berkenaan dengan unsur manusia), 2.Nilai Vital
(segala sesuatu yang berguna bagi aktivitas manusia), 3. Nilai Kerohanian
(Kebenaran,Kebaikan & keagamaan).
- Momentum
Aspiratif : Momentum ini merupakan kewajiban legislator (DPR Pusat/DPRD)
untuk menyerap aspirasi masyarakat dalam rangka pembentukan undang-undang.
Momentum ini sifatnya substansial bukan formalitas.
- Momentum
Normatif : Momentum ini sangat sentral dalam rangka penormaan perumusan
norma undang-undang yang harus mencerminkan keadilan, kemanfaatan/kegunaan
dan kepastian hukum. Ketiga hal tersebut harus dipikirkan jangan sampai
menimbulkan norma kabur dan pertentang norma karena norma kabur akan
menimbulkan kekaburan.
- Momentum
Teknis : Momentum ini sebagai legal drafting yang harus dikerjakan para
ahli sesuai dengan bidangnya dan harus mampu membuat outline.
Ke-empat
momentum diatas sangat penting sebelum membuat perancangan peraturan
perundang-undangan karena empat momentum itu harus dilihat, dipikirkan dan
diterapkan secara seksama jangan sampai setelah peraturan perundang-undangan
terbentuk salah satu momentum diatas diabaikan. Momentum ideal adalah sumber
pembentukan perundang-undangan yang mengacu pada filsafat atau dalam hal ini
pancasila, dalam membuat suatu peraturan perundang-undangan jangan sampai
bertentangan dengan ideology bangsa Indonesia yang tertuang dalam pancasila.
Dalam membentuk suatu peraturan baru momentum aspiratif dinilai penting karena
mampu mendengarkan aspirasi dan keluhan-keluhan yang terjadi di masyarakat,
seperti yang dikatakan diatas momentum aspiratif sifatnya substansial bukan
formalitas artinya momentum ini sangat penting dan serius tidak dapat dipandang
sebelah mata dalam menerapkanya. Norma memiliki peran penting dalam suatu
pembentukan peraturan baru dalam hal ini harus mencerminkan keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat agar nantinya tidak menimbulkan
norma kabur yang dapat menjadi lubang dalam suatu peraturan itu sendiri selain
itu legal drafting atau penyusunan/perancangan peraturan perundang-undangan
sudah seharusnya dikerjakan oleh para ahli yang sesuai dengan bidangnya agar
benar-benar mampu mendalami peraturan baru yang akan dibuat yang nantinya akan
bermuara pada keadilan, kemanfaatan/kegunaan dan kepastian hukum bagi
masyarakat luas.
BAB
II
KERANGKA
PERUNDANG-UNDANGAN
Setiap Undang-Undang baik
yang sudah disahkan maupun yang masih dalam bentuk Rancangan Undang-Undang
memiliki bagian-bagian yang tersusun atas suatu sistem kerangka yang rapi ,
yakni :
- Judul
- Berisi informasi keterangan jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan dan nama Peraturan Perundang-Undangan.
- Nama judul undang-undang dibuat ringkas, singkat, jelas dan padat serta mencerminkan isi dari peraturan perundang-undangan tersebut.
- Ditulis dengan huruf kapital yang diletakkan di posisi tengah dan tanpa akhiran tanda baca. - Pembukaan
- Frase "Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa".
- Jabatan Pembentuk Peraturan / Perundang-undangan.
- Konsiderans.
- Dasar Hukum.
- Diktum. - Batang
Tubuh
- Ketentuan Umum
- Materi pokok yang diatur
- Ketentuan Pidana (jika perlu)
- Ketentuan peralihan (jika perlu)
- Ketentuan penutup - Penutup
- Penjelasan (jika ada)
- Lampiran (jika ada)
Judul Peraturan Perundang-undangan memuat keterangan
mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan
atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang-undangan. Nama Peraturan Perundang-undangan
dibuat secara singkat dan mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan. Judul
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa
diakhiri tanda baca. Pada judul Peraturan Perundang-undangan perubahan
ditambahkan frase perubahan atas depan nama Peraturan Perundang-undangan yang
diubah dan pada judul Peraturan Perundang-undangan pencabutan disisipkan kata
pencabutan di depan nama Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang-undangan
sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan dicantumkan frase
“DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA” yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital
yang diletakkan di tengah marjin.
Jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma.
Konsiderans diawali dengan kata
Menimbang. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran
yang menjadi latar belakang dan alasan
pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans
Undang-Undang atau peraturan daerah memuat unsure filosofis, yuridis, dan sosiologis
yang menjadi latar belakang pembuatannya. Pokok-pokok pikiran yang hanya
menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan dianggap perlu untuk dibuat
adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan tentang latar belakang dan alasan
dibuatnya peraturan perundang-undangan tersebut., Jika konsiderans memuat lebih
dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian
kalimat yang merupakan kesatuan pengertian. Tiap-tiap pokok pikiran diawali
dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata
bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. Dasar hukum yang diambil dari
pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal
atau beberapa pasal yang berkaitan Frase Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf
“U’ ditulis dengan huruf kapital. Diktum terdiri atas Kata Memutuskan, Kata
Menetapkan dan Nama Peraturan Perundang-undangan. Kata Memutuskan ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri
dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah marjin. Pada Peraturan
Daerah, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ... (nama
daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ...
(nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf capital dan
diletakkan di tengah marjin.
Ketentuan umum diletakkan dalam bab kesatu. Jika dalam
Peraturan Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum
diletakkan dalam pasal-pasal awal. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu
pasal. Frase pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksudkan
dengan: Frase pembuka dalam ketentuan umum Peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang- Undang disesuaikan dengan jenis peraturannya Jika ketentuan umum
memuat batasan pengertian atau definisi singkatan atau akrorim lebih dari satu,
maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali
dengan huraf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik. Kata atau istilah
yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan
berulang-ulang di dalam pasal-pasal selanjutnya. Jika suatu kata atau istilah
hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya
untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, dianjurkan agar kata atau
istilah itu diberi definisi. Jika suatu batasan pengertian atau definsi perlu
dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka
rumusan batasan pengertian atau definisi
di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan
pengertian atau definisi yang terdapat
di dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut. Karena batasan
pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi, untuk menjelaskan
makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi,
singkatan, atau akronim tidak perlu
diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga
tidak menimbulkan pengertian ganda. Materi pokok yang diatur ditempatkan
langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokkan
bab, materi pokok yang diatur diletakkan
setelah pasal-pasal ketentuan umum.
Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria
yang dijadikan dasar pembagian.
Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas
pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah.Dalam
merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana
yang terdapat dalamBuku Kesatu Kitab UndangUndang Hukum Pidana, karena
ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana
menurut Peraturan Perundang-undangan lain,
kecuali jika oleh UndangUndang ditentukan lain (vide; Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Dalam menentukan
lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak
yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat, Ketentuan pidana
ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur
atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak
ada, letaknya adalah sebelum bab
ketentuan penutup.Jika di dalam Peraturan Perandang-undangan tidak diadakan
pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam pasal yang
terletak langsung sebelum pasal-pasal yang
berisi ketentuan peralihan. Jika tidak ada pasal yang berisi ketentuan
peralihan, ketentuan pidana diletakkan
sebelum pasal penutup. Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang dan
Peraturan Daerah. Ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap Peraturan
Perundang-undangan yang sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru
mulai berlaku, agar Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar
dan tidak menimbulkan permasalahan hukum. Ketentuan peralihan dimuat dalam bab
ketentuan peralihan dan ditempatkan di antara bab ketentuan pidana dan bab
Ketentuan Penutup. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan
pengelompokan bab, pasal yang memuat ketentuan peralihan ditempatkan sebelum
pasal yang memuat ketentuan penutup. Pada saat suatu Peraturan
Perundang-undangan dinyatakan mulai berlaku, segala hubungan hukum yang ada
atau tindakan hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat maupun sesudah
Peraturan Perundang-undangan yang baru itu dinyatakan mulai berlaku tunduk.
Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan
pengelompokan bab, ketentuan penutup
ditempatkan dalam pasal-pasal terakhir. Pada umumnya ketentuan penutup memuat
ketentuan mengenai penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan
Peraturan Perundang-undangan, nama
singkat, status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada dan saat mulai
berlaku Peraturan Perundang-undangan.
Penutup
merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-undangan dan memuat:
Ø rumusan
perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau
Berita Daerah;
Ø penandatanganan
pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang-undangan;
Ø Pengundangan
Peraturan Perundang-undangan; dan
Ø akhir
bagian penutup
Peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang dapat diberi penjelasan, jika
diperlukan. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk Peraturan
Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu,
penjelasan hanya mernuat uraian atau jabaran lebih lanjut dari norma yang
diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian,
penjelasan sebagai sarana untuk
memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan
terjadinya ketidak jelasan dari norma yang dijelaskan. Penjelasan tidak dapat
digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena
itu, hindari membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan. Dalam hal
Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut harus dinyatakan
dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang-undangan
yang bersangkutan. Pada akhir lampiran
harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan/menetapkan Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan.
BAB
III
NASKAH AKADEMIK
Proses
penyusunan Naskah Akademik terdiri dari beberapa tahap, pada tahap pertama diawali dengan melakukan
persiapan, tahap pelaksanaan penyusunan Naskah Akademik, diskusi publik draft
awal Naskah Akademik, evaluasi draft Naskah Akademik, penyempurnaan atau
finalisasi penyusunan Naskah Akademik, dan penyerahan Naskah Akademik kepada
pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai bahan masukan dalam
proses pembentukan peraturan daerah.
Tahap
persiapan penyusunan Naskah Akademik dimulai dengan membentuk Tim Penyusun
Naskah Akademik Peraturan Daerah, yang terdiri dari personel yang dianggap
memiliki kompetensi dan wawasan luas di bidangnya. Susunan personalia Tim ini disesuaikan dengan
kebutuhan dan pokok persoalan yang akan dibuat peraturan daerahnya. Kompetensi para anggota Tim bukan semata-mata
di bidang hukum, tetapi akan lebih baik apabila melibatkan pakar dari beragam
disiplin ilmu terkait dengan permasalahan yang akan dikaji. Kompetensi anggota dari disiplin ilmu hukum
dan perundang-undangan diperlukan untuk menelaah aturan-aturan hukum dan pola
perancangan peraturan perundang-undangan.
Pada tahap persiapan ini dilaksanakan kegiatan yang menyangkut aspek
teknis Tim serta pengumpulan data dan informasi yang relevan dengan pokok
persoalan.
Tahap
selanjutnya adalah penyusunan draft Naskah Akademik sesuai dengan pola dan sistematika
standar yang biasa dipakai dalam penyusunan Naskah Akademik. Tahapan ini memerlukan waktu yang cukup,
karena selain menuangkan berbagai data dan informasi ke dalam bentuk Naskah
Akademik, juga mulai dipikirkan alternatif kaedah-kaedah atau norma-norma dari
narasi yang disusun. Penarikan
kaedah/norma hukum inilah yang membedakan antara Naskah Akademik dan hasil
penelitian/kajian biasa.
Jika
draft Naskah Akademik sudah selesai disusun, maka tahap berikutnya adalah
menyelenggarakan diskusi publik (public
hearing). Tujuan dari diskusi publik
ini, selain dari mengenaikan/menginformasikan Naskah Akademik kepada masyarakat
dan pihak-pihak terkait, juga menghimpun masukan dari berbagai pihak, dalam
rangka memperkaya dan menyempurnakan Naskah Akademik. Diskusi publik ini dapat berbentuk diskusi
terfokus, lokakarya, seminar, jaring aspirasi publik, pertemuan konsultasi,
atau juga mempublikasikannya di media masa.
Evaluasi
terhadap draft Naskah Akademik perlu dilakukan setelah memperoleh masukan atau
tanggapan dari masyarakat. Pada tahap
ini Tim penyusun Naskah Akademik mulai menginventarisir masukan-masukan yang
diperoleh dari diskusi publik dan sedapat mungkin mengakomodir masukan-masukan
yang berfmanfaat ke dalam Naskah Akademik.
Selanjutnya
Tim penyusun Naskah Akademik menyempurnakan dan menetapkan draft akhir Naskah
Akademik, untuk diserahkkan kepada pemerintah daerah dan/atau DPRD, sebagai
bahan masukan dan pertimbangan dalam pembahasan itu.
Naskah
Akademik terdiri dari dua bagian, yaitu (1) bagian yang memuat hasil kajian
materi RUU yang akan diusulkan; dan (2) bagian
yang memuat Naskah Awal RUU yang diusulkan.
1. Format Bagian Pertama
a. Sampul Depan/Cover, berisi judul dan penyusun Naskah Akademik.
b. Kata Pengantar, yang berisi pengantar proses penyusunan Naskah
Akademik.
c. Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
Memuat pemikiran tentang
konstatering fakta-fakta yang merupakan alasan-alasan pentingnya materi hukum
yang bersangkutan harus segera diatur.
B. Dasar Pemikiran Perlunya RUU
Memuat pemikiran tentang
dasar perlunya RUU dibentuk, antara lain meliputi dasar filosofis, dasar
sosiologis, dasar yuridis, dasar psikopolitik, dan dasar ekonomi.
C. Maksud dan Tujuan
Mengemukakan tentang apa yang
hendak dicapai melalui pembentukan RUU tersebut (misalnya memberikan jaminan
kepastian hukum).
D. Metode Pendekatan
E. Analisis Hukum Positif Yang Terkait Materi Hukum RUU
Naskah
Akademik berisikan rekomendasi tentang urgensi (dasar pemikiran perlunya suatu
peraturan perundang-undangan), konsepsi, asas hukum, ruang lingkup, dan materi
muatan, dilengkapi dengan pemikiran dan penarikan norma-norma yang akan menjadi
tuntunan dalam menyusun suatu rancangan peraturan perundang-undangan. Adanya
Naskah Akademik bukan (atau sampai saat ini belum diatur secara tegas) sebagai
suatu keharusan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, akan
tetapi keberadaan Naskah Akademik sangat diperlukan dalam proses pembentukan
peraturan daerah. Naskah Akademik
memaparkan alasan-alasan, fakta atau latar belakang tentang hal-hal yang
mendorong disusunnya suatu masalah atau urusan sehingga dipandang sangat
penting dan mendesak diatur dalam peraturan daerah atau undang-undang.
Secara
dasar sosiologis, naskah akademik disusun dengan mengkaji realitas masyarakat
yang meliputi kebutuhan hukum masyarakat, aspek sosial ekonomi dan nilai-nilai
yang hidup dan berkembang (rasa keadilan masyarakat).
Tujuan
kajian sosiologis ini adalah untuk menghindari tercerabutnya peraturan
perundang-undangan yang dibuat dari akar-akar sosialnya di masyarakat.
Banyaknya peraturan perundang-undangan yang setelah diundangkan kemudian
ditolak oleh masyarakat, merupakan cerminan peraturan perundang-undangan yang
tidak memiliki akar sosial yang kuat.
Keberadaan
Naskah Akademik memang sangat diperlukan dalam rangka pembentukan peraturan
perundang-undangan yang bertujuan agar peraturan perundang-undangan yang
dihasilkan nantinya akan sesuai dengan sistem hukum nasional dan kehidupan
masyarakat. Dengan digunakannya Naskah
Akademik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, diharapkan
peraturan perundang-undangan yang dihasilkan tidak menghadapi masalah (misalnya
dimintakan judicial review) di kemudian hari.
BAB
IV
KESIMPULAN
Dari
apa yang sudah dipaparkan diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa untuk
membuat atau merancang suatu peraturan perundang-undangan bukanlah suatu hal
yang mudah, kita harus memperhatikan banyak aspek didalam penyusunan suatu
rancangan tersebut agar nantinya tidak menjadi peraturan yang justru merugikan
bagi masyarakat luas. Perancangan peraturan perundang-undangan harus melihat
empat momentum yang telah dijabarkan diatas karena momentum-momentum tersebut
amat penting bagi terciptanya suatu aturan yang baik dan berguna bagi khalayak
banyak, jika rancangan perundang-undangan yang nantinya di sahkan sebagai
undang-undang tentunya kita berharap agar dapat bermanfaat bagi kehidupan
bermasyarakat dan mencerminkan keadilan yang sesuai dengan tujuan hukum itu
sendiri.
izin copy ya kak, untuk tugas kuliah, terimakasih banyak, tulisan kakak sangat membantu :D
ReplyDeleteMakasih bgt buat materinya, sangat membantu ;)
ReplyDeleteIjin copy ya kak. Makasih banyakk
ReplyDeleteHallo kak saya cek pasal 1820 tidak ada spesifik yg mengatur siapa yg menjadi penjamin. Mohon infonya kak
ReplyDelete