Skip to main content

TEPATKAH JIKA PERSEKUTUAN KOMANDITER (CV) MENJADI SUBYEK HAK GUNA BANGUNAN?




  
Ida Bagus Abhimantara, S.H.,M.Kn.


Dalam menjalankan roda perekonomian di masyarakat, aturan-aturan hukum tentunya harus dapat mengakomodir konsep-konsep yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengakomodir hal tersebut terbentuklah suatu konsep badan usaha yang lazim disebut sebagai perusahaan. Secara normatif definisi perusahaan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal Pasal 1 huruf b Undang-Undang nomor 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (selanjutnya disebut UU 3/1982) yang mendefinisikan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. Ada tiga jenis badan usaha yang telah kita kenal, yang pertama adalah perusahaan perorangan di mana perusahaan ini didirikan oleh satu orang saja, perusahaan perseorangan ini biasa disebut Perusahaan Dagang (PD) atau Usaha Dagang (UD), yang kedua adalah badan usaha yang berbentuk persekutuan, biasanya berupa Persekutuan Perdata (Burgerlijk Maatschap), Persekutuan Firma (Firm), dan Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennootschap), jenis badan usaha yang terakhir adalah badan usaha yang berbadan hukum, yakni berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Daerah.  
Salah satu badan usaha yang berposisi bukan sebagai badan hukum yaitu Persekutuan Komanditer (CV) adalah perseroan yang terbentuk dengan cara meminjamkan uang, yang didirikan oleh seseorang atau beberapa pesero yang bertanggung gugat secara tanggung renteng dan satu orang pesero atau lebih yang bertindak sebagai pemberi pinjaman uang. Di dalam organisasi CV terdapat satu atau lebih sekutu komplementer dan sekutu komanditer, sekutu komplementer berhak bertindak untuk dan atas nama bersama semua sekutu serta bertanggung gugat terhadap pihak ketiga secara tanggung renteng sampai harta pribadi, sedangkan sekutu komanditer atau disebut juga sebagai sekutu pasif adalah sekutu yang memasukan modal baik berupa uang ataupun benda ke dalam perseroan (inbreng) dan berhak atas keuntungan perseroan namun dalam hal tanggung gugat terhadap pihak ketiga, sekutu komanditer hanya bertanggung gugat sampai harta yang dimasukan ke dalam perseroan saja.
Dalam mengelola kekayaannya, biasanya suatu perseroan memiliki aset-aset baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak berupa hak atas tanah. Salah satu hak atas tanah yang dapat dimiliki suatu badan usaha yang berbadan hukum adalah Hak Guna Bangunan (HGB), Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) mendefinisikan Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Berdasarkan pengertian tersebut, maka pemegang HGB diberi kewajiban untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah HGB tersebut.[1] Dalam Pasal 36 UUPA juncto Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah disebutkan subjek hukum yang dapat menjadi pemegang HGB ialah Warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, artinya badan usaha yang tidak berbadan hukum tidak dimungkinkan sebagai pemegang HGB.
Pada tanggal 28 Juni 2019, Kementrian Agraria dan Tata Ruang mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2/SE-HT.02.01/VI/2019 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan Untuk Persekutuan Komanditer (CV), dalam Surat Edaran tersebut badan usaha berbentuk Persekutuan Komanditer dapat mengajukan permohonan hak atas tanah berupa HGB, pengajuan permohonan tersebut dapat dilakukan oleh anggota komplementer, komanditer atau kuasanya. Untuk pencatatan pendaftaran HGB dilakukan atas nama seluruh anggota komplementer dan komanditer dalam CV atau salah satu anggota komplementer dan komanditer dengan persetujuan seluruh anggota komplementer dan komanditer di dalam CV tersebut. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran tersebut mengakibatkan timbulnya norma hukum baru yang terdapat dalam Surat Edaran Nomor 2/SE-HT.02.01/VI/2019.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, terdapat isu hukum yang timbul terkait dengan adanya konflik norma dalam Surat Edaran tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dan terbukanya peluang untuk lahirnya pencatatan hak atas tanah yang bukan harta kekayaan sebenarnya (nominee).


1. ANTINOMI DALAM SURAT EDARAN KEMENTRIAN AGRARIA DAN TATA RUANG NOMOR 2/SE-HT.02.01/VI/2019 TENTANG PEMBERIAN HAK GUNA BANGUNAN UNTUK PERSEKUTUAN KOMANDITER (CV)
Keberadaan Persekutuan Komanditer dalam lalu lintas bisnis telah dikenal masyarakat, terutama masyarakat pengusaha, sebagai salah satu bentuk badan usaha. Dasar pengaturan CV dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) tidak diatur secara khusus/tersendiri sebagaimana persekutuan firma dan persekutuan perdata (Maatschap), namun beberapa kalangan ahli hukum berpendapat bahwa bagi CV dapat diberlakukan terhadap pasal-pasal mengenai persekutuan firma maupun persekutuan perdata. Ketentuan CV terdapat pada pasal 19, 20, 21 dan pasal 32 KUHD.[2] Ketentuan Pasal 19 sampai dengan Pasal 21 KUHD yang mengatur tentang Firma jika dikaji lebih jauh, jelaslah bahwa CV adalah Firma dengan bentuk khusus. Kekhususannya itu terletak pada eksistensi sekutu komanditer yang tidak ada pada Firma. Firma hanya mempunyai sekutu aktif yang disebut firmant, sedangkan pada CV selain ada sekutu aktif juga ada sekutu komanditer atau sekutu pasif (sleeping partner).[3] Bentuk usaha CV ada 3 (tiga) macam yaitu :[4]
     a.         Persekutuan komanditer diam-diam, yaitu persekutuan komanditer yang belum menyatakan dirinya dengan terang-terangan kepada pihak ketiga sebagai persekutuan komanditer. Bertindak keluar perusahaan, persekutuan itu masih menyatakan dirinya sebagai persekutuan firma, tetapi bertindak ke dalam perusahaan, persekutuan itu sudah menjadi persekutuan komanditer.
    b.         Persekutuan komanditer terang-terangan, yaitu persekutuan komanditer yang dengan terang-terangan menyatakan dirinya sebagai persekutuan komanditer kepada pihak ketiga.
     c.         Persekutuan komanditer dengan saham, yaitu persekutuan komanditer terang-terangan yang modalnya terdiri dari saham-saham. Persekutuan bentuk ini sama sekali tidak diatur dalam KUHD.
Sumber modal CV dalam menjalankan usahanya dapat ditinjau dari segi internal maupun eksternal CV itu sendiri. Sumber modal internal yaitu dari pemasukan modal (inbreng) para pengurus dan sumber modal eksternal misalnya melalui pinjaman dari lembaga perbankan maupun lembaga non perbankan dengan jaminan tertentu.[5]
         Dilihat dari ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan saat ini, CV berkedudukan sebagai badan usaha yang tidak berbadan hukum, artinya CV tidak dapat bertindak sendiri sebagai recht persoon layaknya konsep Perseroan Terbatas (PT), hal tersebut berimplikasi terkait dengan kepemilikan harta kekayaan CV khususnya dalam hal kepemilikan hak atas tanah.
Salah satu hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh suatu badan usaha yang berbadan hukum adalah Hak Guna Bangunan, di mana dalam Pasal 35 UUPA memberikan definisi Hak Guna Bangunan sebagai hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan bisa diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Hak Guna Bangunan dapat terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain. Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (selanjutnya disebut PP 40/1996) menegaskan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah tanah negara, tanah hak pengelolaan atau tanah hak milik.
Subjek hukum yang dapat menjadi pemegang Hak Guna Bangunan menurut Pasal 36 UUPA juncto Pasal 19 PP 40/1996 ialah ;
1.    Warga Negara Indonesia;
2.    Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia).
         Apabila subjek Hak Guna Bangunan tidak memenuhi syarat sebagai warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia, maka dalam waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Guna Bangunan tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat, bila hal tersebut tidak dilakukan maka Hak Guna Bangunannya hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.[6]
         Lahirnya Surat Edaran Nomor 2/SE-HT.02.01/VI/2019 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan Untuk Persekutuan Komanditer (CV) tentu bertentangan dengan dasar hukum yang digunakan oleh Surat Edaran tersebut, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Dalam Pasal 36 UUPA juncto Pasal 19 PP 40/1996, CV bukanlah salah satu subjek hukum yang dapat menjadi pemegang Hak Guna Bangunan, jika CV menjadi pemegang Hak Guna Bangunan tentu akan berimplikasi terhadap tanah tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan atau megalihkan hak tersebut kepada subjek hukum lain yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan, jika hak atas tanah tersebut tidak dilepaskan atau dialihkan maka tanah tersebut akan menjadi hapus karena hukum dan tanahnya dikuasai oleh negara.
         Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Hierarki dari peraturan perundang-undangan di Indonesia ialah diawali dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, TAP MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah (Provinsi), dan Peraturan Daerah (Kabupaten/Kota). Tidak ada penyebutan Surat Edaran secara eksplisit. Ketentuan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan.
Surat Edaran Nomor 2/SE-HT.02.01/VI/2019 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan Untuk Persekutuan Komanditer (CV) bukanlah peraturan perundang-undangan (regeling), bukan juga sebagai keputusan Tata Usaha Negara (beschikking), melainkan sebuah peraturan kebijakan. Surat Edaran tersebut dikategorikan sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel) atau peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving).[7] Beleidsregel dan pseudo wetgeving adalah produk hukum yang isinya secara materil mengikat umum namun bukanlah peraturan perundang-undangan karena ketiadaan wewenang pembentuknya untuk membentuknya sebagai peraturan perundang-undangan.[8]
         Terdapat antinomi atau konflik norma dari lahirnya Surat Edaran tersebut di mana secara hierarkis Surat Edaran Nomor 2/SE-HT.02.01/VI/2019 sudah seharusnya diterbitkan dengan memperhatikan asas-asas dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang secara hierarki berkedudukan lebih tinggi yang dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sehingga Surat Edaran sebagai peraturan kebijakan yang terbit dengan maksud merangsang pertumbuhan bisnis dapat berjalan beriringan jika Surat Edaran tersebut terlebih dahulu memperhatikan asas-asas dan norma hukum yang terdapat dalam UUPA sebagai landasan hukum dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 2/SE-HT.02.01/VI/2019 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan Untuk Persekutuan Komanditer (CV).
2. PENCATATAN HAK ATAS TANAH YANG DIMILIKI OLEH COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP (PERSEKUTUAN KOMANDITER) ATAS NAMA PARA PESERO

Dalam Angka 5 huruf b Surat Edaran  Nomor 2/SE-HT.02.01/VI/2019 menyebutkan bahwa yang mengajukan permohonan pendaftaran Hak Guna Bangunan adalah Pesero Komanditer atau Pesero Komplementer dalam CV, akan tetapi mereka bertindak bukan untuk dan atas nama CV, melainkan untuk dan atas nama seluruh pesero dalam CV. Selain itu Angka 5 huruf a mengatur bahwa pemohon Sertipikat Hak Guna Bangunan adalah persekutuan komanditer (CV) akan tetapi nama pemegang Hak Atas Tanah yang tercantum dalam sertipikat adalah nama para pesero CV orang perorangan bukan nama badan usaha CV tersebut. Dalam Angka 5 huruf d ditentukan bahwa pencatatan pendaftaran Hak Guna Bangunan untuk persekutuan komanditer (CV) dilakukan :

1)   Atas nama seluruh anggota komanditer dan komplementer dalam persekutuan komanditer (CV) dimaksud ; atau

2)   Salah satu anggota komanditer dan komplementer c.q commanditaire vennootschap dengan persetujuan seluruh anggota komanditer dan komplementer.
Jika dilihat konstruksi dalam angka 5 Surat Edaran tersebut pencantuman nama pesero CV dalam Sertipikat Hak Guna Bangunan yang sebenarnya adalah harta kekayaan CV justru membuka ruang atas pencatatan kepemilikan hak atas tanah dengan cara nominee.
Nominee adalah seseorang yang bertindak untuk nama pihak lain sebagai wakil dalam arti yang terbatas. Terkadang istilah tersebut digunakan untuk menandakan sebagai agen atau wali. [9] Beberapa definisi nominee dapat ditemukan dalam kamus yang pada dasarnya memberikan pengertian yang sama. Nominee secara umum dapat diartikan sebagai berikut :[10]
a.  One who has been nominated to an office or for a candidacy or a person; or
b. Organization in whose name a security is registered though true ownership is held by another party.
Dalam pengertian sebagaimana diuraikan di atas, dapat ditarik pengertian nominee sebagai suatu pihak yang ditunjuk oleh pihak lain untuk bertindak mewakili untuk dan atas nama pihak yang menunjuk nominee tersebut. Pihak yang menunjuk nominee seringkali dikenal sebagai pihak beneficiary. Nominee mewakili kepentingan-kepentingan dari beneficiary dan karenanya nominee dalam melakukan tindakan- tindakan khusus harus sesuai dengan yang diperjanjikan dan tentunya harus sesuai dengan perintah yang diberikan oleh pihak beneficiary.[11]
Pencatatan pemegang hak atas tanah Hak Guna Bangunan yang diperoleh CV dalam ketentuan angka 5 Surat Edaran Nomor 2/SE-HT.02.01/VI/2019 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan Untuk Persekutuan Komanditer (CV) dapat dikategorikan sebagai pencatatan kepemilikan hak atas tanah dengan cara nominee, karena pencatatan hak atas tanah tersebut yang dalam hal ini dicatatkan atas nama para pesero CV bukanlah harta kekayaan para pesero melainkan harta kekayaan CV sebagai badan usaha yang tidak berbadan hukum, artinya pencatatan kepemilikan hak atas tanah tersebut bukan pemilik hak yang sebenarnya. Hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap pendaftaran tanah dalam hal pencatatan kepemilikan/pemilik tanah (hak atas tanah/hak guna bangunan).

III. PENUTUP
Lahirnya Surat Edaran Nomor 2/SE-HT.02.01/VI/2019 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan Untuk Persekutuan Komanditer (CV) jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yang di mana berkedudukan lebih tinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Surat Edaran tersebut dikategorikan sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel) atau peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving) yang seharusnya memperhatikan asas-asas dan norma hukum yang terdapat dalam UUPA sebagai landasan hukum dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 2/SE-HT.02.01/VI/2019 agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan pemegang hak atas tanah Hak Guna Bangunan yang diperoleh CV dalam ketentuan angka 5 Surat Edaran Nomor 2/SE-HT.02.01/VI/2019 dapat dikategorikan sebagai pencatatan kepemilikan hak atas tanah dengan cara nominee, di mana pencatatan kepemilikan hak atas tanah tersebut bukan pemilik hak yang sebenarnya. Hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap pendaftaran tanah dalam hal pencatatan kepemilikan.


Daftar Pustaka
Anggono, Bayu Dwi, 2015, Surat Edaran, ‘Kerikil’ dalam Perundang-Undangan, https://tinyurl.com/whxn5ct, diakses pada tanggal 01 Desember 2019.
Ariesi, Hexxy Nurbaiti, 2007, Tanggung Jawab Pengurus Persekutuan Komanditer Dalam Keadaan Pailit, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro.
Garner, Bryan A., 1999, “one designated to act for another as his representative in a rather limited sense. It is used sometimes to signify an agent or trustee. It has no connotation, however, other than that of acting for another, in representation of another, or as the grantee of another”, Black’s Law Dictionary With Guide To Pronunciation, St. Paul West Publishing.
Hajati, Sri, et.al., 2017, Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan, Surabaya: Airlangga University Press.
Purwositjipto, H.M.N., 2005, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2 : Bentuk- Bentuk Perusahaan, Djambatan.
Santoso, Urip, 2012, Hukum Agraria : Kajian Komprehensif, Jakarta; Kencana
Soekardono, 1991, Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1 Bagian Kedua, Rajawali Pers.
Utami, Christina Dwi, 2008, Nominee Dalam Perspektif Hukum Indonesia (Suatu Tinjauan Yuridis), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.
Widjaya, I.G. Rai, 2005, Hukum Perusahaan (Undang-Undang dan Peraturan Pelaksana Undang-Undang di Bidang Usaha), Mega Poin, Divisi dari Kesain Blanc.

Comments

  1. selamat sore kak, terkait dengan pemaparan kakak atas isi SE pada poin 5 butir 2 (yang berkaitan dengan pencatatan), apakah saat di catatkan akan terlihat nama CV nya kak? misalnya pencatatannya seperti ini:
    ".... Salah satu anggota komanditer dan komplementer c.q commanditaire vennootschap dengan persetujuan seluruh anggota komanditer dan komplementer"
    Sertipikat HGB akan dicatatkan:
    NINA CAROLINA cq CV BUNGA LESTARI dengan persetujuan seluruh anggota komanditer dan komplementer (nama CV nya apakah di stated dalam sertipikat??)

    terima kasih ya kak salam kenal

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

PERANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (LEGAL DRAFTING)

LATAR BELAKANG Perancangan peraturan perundang-undangan/Legal drafting dapat diartikan sebagai proses penyusunan kegiatan pembuatan peraturan yang dimulai dari perencanaan, persiapan,teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Peraturan perundang-undangan terdiri dari berbagai jenis yang sekaligus membentuk hirarki  peraturan perundang-undangan . Seluruh jenis peraturan perundang-undangan tersebut dirancang atau dirumuskan oleh kekuasaan legislatif bersama-sama dengan kekuasaan eksekutif, Dengan demikian kemampuan atau keahlian dalam merancang peraturan perundang-undangan merupakan suatu keharusan bagi aparatur pemerintahan yang berada di kedua lembaga tersebut. Terlebih lagi jika lingkup tugas dan kewenangannya senantiasa berhubungan dengan kepentingan publik. Akan tetapi, berbagai laporan menunjukkan bahwa masih banyak peraturan perundang-undang baik di tingkat pusat maupun daerah yang bermasalah, bahkan bertentangan satu sama

KAMPUS RASA PABRIK

       Mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi saat ini membuat institusi perguruan tinggi mendapat kritik dan protes bahkan dari mahasiswanya sendiri, baru-baru ini para mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Bali melakukan demo terhadap kebijakan kampus yang memungut biaya pendidikan yang dianggap terlalu mahal bagi para calon mahasiswanya dan diperparah dengan tidak adanya transparansi mengenai pengelolaan dana tersebut, setidaknya begitulah apa yang saya ketahui. Hal tersebut membuat saya teringat dengan kejadian beberapa bulan lalu yang sempat viral, di mana terdapat berita yang mengabarkan penangkapan terhadap beberapa mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Makasar, para mahasiswa tersebut ditangkap bukan karena melakukan tindakan kriminal namun karena mengkritik mahalnya biaya pendidikan di kampus dengan sebuah poster yang bertuliskan “KAMPUS RASA PABRIK”.             Bagi anak-anak zaman now mungkin tidak akan banyak yang paham apa m