Skip to main content

Mengapa Pidana Mati Memerlukan Waktu yang Lama? Apa yang ditunggu?






Kontroversi pemberlakuan hukuman mati hampir terjadi di seluruh belahan dunia, baik di negara-negara Eropa Kontinental dengan aliran hukum common law system-nya, maupun di negara-negara Eropa Kontinental dengan aliran hukum civil law system-nya.

Terlepas dari berbagai perdebatan yang menyertai keberadaan dan penerapan hukuman mati, faktanya sistem hukum di Indonesia masih mengakui keberadaan hukuman mati sebagai salah satu jenis hukuman pokok. Polemik lanjutan yang juga menjadi sorotan adalah lambatnya eksekusi terhadap terpidana mati. Sering menjadi sorotan masyarakat karena memerlukan waktu bertahun-tahun mulai dari terpidana dijatuhi vonis mati oleh pengadilan sampai pelaksanaan eksekusi.Terdakwa yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan, harus menjalani dua jenis hukuman atas satu perbuatan yang sama, yaitu hukuman mati dan hukuman penjara. Dipihak lain, yaitu korban, dan masyarakat tentu merasakan tidak mendapat keadilan dan kepastian hukum. Bahkan juga tidak mendapat kemanfaatan atas penjatuhan hukuman mati.

Pelaksanaan eksekusi hukuman mati bila tidak segera dilaksanakan, terlambat atau berlarut-larut hal ini bertentangan dengan konstitusi, Undang-undang HAM dan prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi korban, terpidana dan masyarakat. Kondisi demikian mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum bagi masyarakat, korban dan juga terpidana. Terlebih lagi korban dan masyarakat merasakan tidak terpenuhinya keadilan. Bahkan dapat memunculkan kegagalan tujuan pemidanaan utamanya dari segi prevensi umum.

Banyak faktor maupun permasalahan pokok yang 'wajib' dibahas dan dianalisa serta dicari jalan keluarnya, agar polemic penghapusan atau tidak, serta permasalahan 'bawaan' bisa dikurangi bahkan teratasi. Dari sisi penegak hukum tentu berbeda dengan alasan yang disampaikan oleh terpidana atau penasihat hukumnya. Demikian juga pendapat para ahli, korban dan pemerhati hukum maupun masyarakat. Bahkan antara penegak hukum berbeda pendapat, perbedaan pendapat ini mencerminkan dinamika yang berasal dari sisi fungsi dan wewenang masing-masing.






Salah satu faktor belum dieksekusinya terpidana mati adalah putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum tetaop Penyebabnya karena masih adanya upaya hukum yang diajukan oleh terpidana atau penasihat hukumnya. Bahkan dari data di Kejaksaan Agung ada beberapa terpidana mati yang lebih satu kali mengajukan upaya PK dan grasi, lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa, sebagian upaya hukum luar biasa berupa PK dalam praktiknya juga lama waktunya. Waktu untuk pengajuan maupun putusan PK memerlukan waktu yang lama. Hal ini nantinya ditambah waktu terpidana mengajukan grasi dan putusan grasi dari presiden biasanya memerlukan waktu yang lama juga. Kemudian apabila putusan sudah inkracht van gewijsde maka political will pemerintah dan konsistensi penegak hukum sangat diperlukan. Pelaksanaan hukuman mati terkait dengaj pencabutan nyawa, maka sering kali dikaitkan dengan masalah hak asasi manusia (HAM). Di sini perlu sinkronisasi, harmonisasi dan koordinasi pihak-pihak tertentu. Selanjutnya secara konkrit dan langkah fisik eksekusi mati memerlukan upaya, waktu dan koordinasi dengan pihak Polri, Kementrian Hukum dan HAM, Kedutaan Besar (bila terpidana mati orang asing), Lembaga Pemasyarakatan, Kementrian Kesehatan, rumah sakit dan dokter, Kementrian Keuangan (anggaran), Kementrian Agama (rohaniwan), Keluarga korban serta pihak terkait lainnya.

Eksekusi hukuman mati yang cepat memberikan keadilan, kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi terpidana, korban dan masyarakat. Ini tentunya dengan melihat bahwa banyak faktor pula yang tersangkut disini. Pengertian cepat memang relatif, tidak dapat dipastikan secara tepat waktunya. Ukuran yang pasti adalah bila perkara yang mengandung hukuman mati tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Jika demikian tolok ukurnya maka perlu ada langkah-langkah yuridis (regulasi) yang mengatur secara ketat atau tegas. Pengaturan tersebut terkait syarat-syarat dan waktu, baik pengajuan maupun putusan upaya-upaya hukum dan grasi serta pelaksanaan dari eksekusi hukuman mati. Dan tentu saja karena hukum ataupun undang-undang itu sangat tergantung pelaksana dan pelaksanaannya, maka profesionalitas dan konsistensi sangat diperlukan. Dalam hal demikian penegak hukum harus aktif guna memastikan bahwa kendala-kendala yang berhubungan dengan lambatnya upaya hukum dan grasi, serta pelaksanaan eksekusi dapat diantisipasi dan dihindari. Apabila hal itu tidak dilakukan, besar kemungkinan tidak cepat atau lambatnya eksekusi disebabkan oleh penegak hukum sendiri. Keaktifan penegak hukum dalam upaya hukum meliputi upaya hukum biasa, luar biasa dan bahkan juga pengajuan dan putusan grasi terpidana. Berbeda dengan jenis hukuman lain, hukuman mati tidak dapat segera dieksekusi tanpa melalui grasi presiden. Hal ini sesuai ketentuan UU No.5 Tahun 2010 Tentang Grasi. Meskipun terdapat jalan panjang bagi eksekusi hukuman mati, namun kecepatan eksekusi sesuai ketentuan yuridis, prosedural, kepatutan dan kewajaran mutlak diwujudkan. Terlebih jika putusan mati telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Polemik hukuman mati ini semestinya segera diatasi dengan beberapa solusi. Beberapa solusi itu, antara lain bila terpidana mati dalam waktu 10 tahun tidak segera dieksekusi, segera diambil hukuman alternatif menjadi seumur hidup. Sebenarnya ada dalam KUHAP masa lalu, intinya berbunyi bila dalam 10 tahun belum dieksekusi karena kesalahan Negara, maka hukuman yang dibebankan menjadi seumur hidup. Selain itu, dalam UU yang mengancam pidana mati, juga diberi batas waktu atau deadline untuk tahapan hukumnya mulai dari banding, kasasi, sampai upaya hukum. Tujuannya agar tidak berlarut-larut. Keseriusan pemerintah berkaitan dengan nyawa manusia amat dibutuhkan. Presidennya juga harus konsisten sehingga 'Political will` Pemerintah RI amat sangat diperlukan untuk diwujud konkretkan dalam `political action`. Keseriusan ini ditandai dengan menyediakan biaya atau anggaran yang memadai untuk pelaksanaan hukuman sampai tahapan penguburan. Karena semakin lama eksekusi tidak dilaksanakan, akan menciderai rasa keadilan masyarakat dan hak asasi manusia itu sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

PERANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (LEGAL DRAFTING)

LATAR BELAKANG Perancangan peraturan perundang-undangan/Legal drafting dapat diartikan sebagai proses penyusunan kegiatan pembuatan peraturan yang dimulai dari perencanaan, persiapan,teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Peraturan perundang-undangan terdiri dari berbagai jenis yang sekaligus membentuk hirarki  peraturan perundang-undangan . Seluruh jenis peraturan perundang-undangan tersebut dirancang atau dirumuskan oleh kekuasaan legislatif bersama-sama dengan kekuasaan eksekutif, Dengan demikian kemampuan atau keahlian dalam merancang peraturan perundang-undangan merupakan suatu keharusan bagi aparatur pemerintahan yang berada di kedua lembaga tersebut. Terlebih lagi jika lingkup tugas dan kewenangannya senantiasa berhubungan dengan kepentingan publik. Akan tetapi, berbagai laporan menunjukkan bahwa masih banyak peraturan perundang-undang baik di tingkat pusat maupun daerah yang bermasalah, bahkan bertentangan satu sama

KAMPUS RASA PABRIK

       Mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi saat ini membuat institusi perguruan tinggi mendapat kritik dan protes bahkan dari mahasiswanya sendiri, baru-baru ini para mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Bali melakukan demo terhadap kebijakan kampus yang memungut biaya pendidikan yang dianggap terlalu mahal bagi para calon mahasiswanya dan diperparah dengan tidak adanya transparansi mengenai pengelolaan dana tersebut, setidaknya begitulah apa yang saya ketahui. Hal tersebut membuat saya teringat dengan kejadian beberapa bulan lalu yang sempat viral, di mana terdapat berita yang mengabarkan penangkapan terhadap beberapa mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Makasar, para mahasiswa tersebut ditangkap bukan karena melakukan tindakan kriminal namun karena mengkritik mahalnya biaya pendidikan di kampus dengan sebuah poster yang bertuliskan “KAMPUS RASA PABRIK”.             Bagi anak-anak zaman now mungkin tidak akan banyak yang paham apa m

TEPATKAH JIKA PERSEKUTUAN KOMANDITER (CV) MENJADI SUBYEK HAK GUNA BANGUNAN?

    Ida Bagus Abhimantara, S.H.,M.Kn. Dalam menjalankan roda perekonomian di masyarakat, aturan-aturan hukum tentunya harus dapat mengakomodir konsep-konsep yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengakomodir hal tersebut terbentuklah suatu konsep badan usaha yang lazim disebut sebagai perusahaan. Secara normatif definisi perusahaan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal Pasal 1 huruf b Undang-Undang nomor 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (selanjutnya disebut UU 3/1982) yang mendefinisikan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. Ada tiga jenis badan usaha yang telah kita kenal, yang pertama adalah perusahaan perorangan di mana perusahaan ini didirikan oleh satu orang saja, perusahaan perseorangan ini biasa disebut Perusahaan Dagang (PD)