Judul tulisan ini
bukanlah judul yang terlalu berlebihan, mengingat tahun 2014 ini menjadi tahun
yang tidak bersahabat bagi tim nasional sepak bola kita khususnya bagi saya dan para
pecinta tim nasional Indonesia, mulai
dari level junior hingga puncaknya pada level senior kita gagal total di
turnamen penting bahkan bisa di katakan jauh di bawah ekspektasi masyarakat pecinta bola.
Ajang Asian Games di
Korea Selatan adalah awal pembuka dari kesialan yang menimpa tim nasional kita
di tahun 2014 ini, Timnas U-23 awalnya tampil memukau dengan berpesta goal di
partai pembuka entah karena timnas U-23 yang melakukan TC di Italia ini memang
tampil impresif atau sekedar kebetulan melihat lawan nya hanya Timor Leste dan
Maldives di dua laga pembuka, setelah itu? Ya kita babak belur melawan Thailand
dan harus puas menjadi runner-up dan harus menjamu tim kuat Korea Utara di fase
knock-out. Hasilnya sesuai perkiraan banyak orang kita tidak akan mampu berbuat
apa-apa dan lagi-lagi babak belur di hujani goal dari para pemain Korea Utara
yang pada akhirnya mereka mampu menembus final Asian Games. Namun kegagalan
Timnas U-23 ini sedikit bisa di maklumi karena target PSSI hanya lolos fase
grup.
AFC Cup U-20 mungkin
menjadi turnamen yang paling di tunggu-tunggu oleh seluruh pecinta sepakbola
tanah air, factor penyebabnya siapa lagi jika bukan timnas U-19 kita yang
sedang booming pada saat itu di gadang-gadang untuk melaju ke semi final
sekaligus memastikan tiket final Piala Dunia U-20 di Selandia Baru. Sebenanya
harapan masyarakat khususnya saya tidaklah setinggi itu andai saja pelatih
timnas U-19 Indra Sjafrie tidak mengeluarkan jargon “Semangat Piala Dunia”,
dari jargon tersebut terbentuklah opini di masyarakat bahwa kelas timnas U-19
kita sudah layak berkompetisi di level itu dan membuat ekspektasi kian besar tentu
tekanan kepada para pemain juga semakin besar sedangkan di sisi lain timnas
U-19 di “perdagangkan” PSSI untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya melalu
tour nusantara atau yang biasa di sebut tour sirkus oleh para pecinta timnas
untuk mengkritisi PSSI.
Tour Nusantara Jilid II
adalah dimana saya sadar timnas U-19 yang saya anggap generasi emas sepak bola
Indonesia akhirnya di matikan oleh “ayah” nya sendiri (PSSI), kepentingan
bisnis dan politik akhirnya mengubur harapan besar saya yang mempunyai
cita-cita melihat timnas senior kita juara setidaknya di level regional saja.
Persiapan terakhir AFC Cup timnas U-19 mengikuti turnamen di Brunei Darussalam
yang sebenarnya di peruntukan untuk level U-21, ketakutan saya akan penurunan
permainan timnas U-19 akhirnya menjadi nyata yang paling saya ingat tentu kalah
telak dari tim sekelas Brunei Darussalam yang sebenarnya hanyalah tim anak
bawang di kawasan asia tenggara.
Ajang yang
ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba, AFC Cup U-20 yang di helat di Myanmar,
Indonesia tergabung di grup yang memang bisa dikatakan relatif sulit namun
bukan mustahil. Mengawali pertandingan dengan sangat hati-hati dan terlihat
tegang, timnas kita babak belur di tiga laga yang dilakoni yakni melawan
Uzbekistan, Australia dan terakhir melawan United Arab Emirates yang sebenarnya
pernah kita kalahkan pada saat tour timur tengah.
Harapan tinggi lolos
piala dunia akhirnya harus terkubur sangat dalam dan memang kita harus sadar
kita belum ada di level itu jika mengingat pembinaan usia muda kita yang amburadul
dan lebih menyakitkan nya lagi Myanmar tetangga kita mampu menjadi wakil
satu-satunya dari asia tenggara menuju Selandia Baru tahun 2015 nanti. Jalan
Timnas U-19 masih panjang, Asian Games selanjutnya di helat di Indonesia dan
timnas U-19 yang nantinya sudah menjadi U-23 di harapkan cepat berbenah karena
kita akan tampil di kandang kita sendiri.
Dua ajang besar tahun
ini sudah kita lewati dengan kekecewaan yang sangat mendalam, akhir tahun 2014
giliran Timnas Senior kita unjuk kebolehan di ajang Piala AFF 2014 yang
menempatkan Indonesia di Grup A bersama tuan rumah Vietnam. AFF tahun ini di katakan
memiliki skuad yang lebih baik di setiap lini nya di bandingkan dengan dua
perhelatan sebelumnya. Saya punya harapan besar pada timnas senior kali ini,
bukan tanpa alasan jika melihat lini serang timnas diisi oleh pemain-pemain
terbaik Indonesia seperti Boaz, Van Dijk, Samsul Arif hingga Gonzales yang
usianya sudah tidak muda lagi begitu juga di sector tengah dan belakang ada
Evan Dimas hingga Victor Igbonefo sebagai tembok pertahanan.
Laga perdana dilalui
dengan meraih point hasil dari menahan imbang tuan rumah walaupun dengan
sedikit keberuntungan lewat goal kedua Indonesia yang dikarenakan blunder kipper
Vietnam. Permainan timnas saat laga perdana sangat tidak berkembang dan terus
mendapat gempuran pemain Vietnam, laga yang bias saya katakan sebagai laga
senam jantung karena memang lini pertahanan kita sangat menggemaskan sering
sekali melakukan kesalahan-kesalahan sendiri. Laga kedua menghadapi tim
bertabur naturalisasi Philipines, kemenangan adalah wajib untuk membuka pintu
lolos ke fase selanjutnya namun apa daya strategi bola panjang yang di inginkan
Riedl tidak berjalan dengan baik dan menurut saya strategi seperti itu pasti
tidak berjalan baik untuk timnas kita karena sejak saya kecil timnas Indonesia bukanlah
timnas yang para pemainya memiliki akurasi umpan layaknya pemain-pemain eropa.
Hari yang kelam bagi
saya dan sepak bola Indonesia karena kita dikalahkan dengan skor telak 4 goal
tanpa balas, ya kita tidak lebih baik dari Laos yang kalah 1-4 dari Philipines.
Tak percaya rasanya timnas yang bermaterikan pemain terbaik akhirnya hancur di
tangan tim yang sebelumnya tidak pernah menang melawan kita bahkan pernah kita
hancurkan 13-1 di Jakarta. Sedih, Kecewa, Kesal, Gemas, itulah yang saya
rasakan hari itu entah harus menyalahkan siapa walau sebenarnya PSSI yang
paling bertanggung jawab atas kekalahan memalukan ini. Apakah Revolusi PSSI
jilid II harus di lakukan lagi melihat situasi di kepemimpinan PSSI yang di katakan berisikan para mafia yang membuat sepak bola kita jalan di tempat sedangkan Negara
lain melesat maju.
Sudah saatnya PSSI
berbenah, berbenah dengan serius atau kalau perlu legowo lah para pimpinan PSSI
mundur dan berikan tongkat kekuasaan pada orang-orang professional di bidang
sepak bola, tidak ada lagi politik, Korupsi, hingga pengaturan skor di dalam
tubuh PSSI. Rasa-rasanya jika PSSI tetap di masuki kepentingan politik hanya
keberuntunganlah yang mampu membuat timnas kita menjadi juara bukan karena
kompetisi yang baik pembinaan usia dini yang terstruktur dan manajemen yang
sehat. Mungkin cita-cita saya melihat Timnas juara masih “jauh panggang dari
api” namun kesempatan berbenah masih ada, semoga saja saya masih sempat melihat
tim nasional Indonesia khususnya Tim Nasioanl senior mampu mengangkat piala.
Comments
Post a Comment