PENETAPAN
PENGADILAN AGAMA PASIR PENGARAIAN
NOMOR: /Pdt.P/2014/PA.Ppg
I. KASUS POSISI
Dalam Penetapan Pengadilan Agama Pasir
Pengaraian nomor /Pdt.P/2014/PA.Ppg
menerangkan bahwa Pemohon adalah ibu kandung dari Pemohon II yang mengajukan
dispensasi kawin tertanggal 16 April 2014 yang dimana Pemohon hendak menikahkan
anak kandungnya (Pemohon II) dengan Calon Suami Pemohon II.[1]
Bahwa ayah kandung Pemohon II telah
meninggal sejak tanggal 13 Januari 2003, maka dari itu untuk menikahkan anak
Pemohon akan diwakilkan kepada abang kandung Pemohon II. Syarat-syarat untuk
melaksanakan pernikahan telah terpenuhi baik menurut hukum islam maupun
peraturan perundang-undangan yang berlaku kecuali syarat usia kawin bagi anak
Pemohon.[2]
Pemohon II dan Calon Suami Pemohon
II menyatakan sudah kenal dan saling mencintai dan telah berpacaran 11 bulan
yang lalu dan sekarang bermaksud untuk melangsungkan pernikahan akan tetapi
terkendala masalah umur Pemohon II yang masih berumur 14 tahun 5 bulan. Pemohon
II dan Calon Suami Pemohon II dalam dalilnya menyatakan tidak sanggup menahan
nafsu sexual dan takut terjerumus kepada perbuatan yang dilarang agama atau
berbuat zina.[3]
Permohonan Pemohon telah sesuai
menurut ketentuan Pasal 49 huruf (a)
serta penjelasan angka 3 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Pasal 7 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, oleh karena itu Pemohon adalah subjek hukum
yang sah untuk mengajukan Dispensasi Kawin.[4]
Setelah Majelis Hakim mendengar
keterangan para pihak dan saksi-saksi, Mejelis Hakim berpendapat perlu
menetapkan pemberian izin kepada anak Pemohon (Pemohon II) untuk menikah dengan
Calon Suami Pemohon II. Majelis Hakim menetapkan mengabulkan seluruh permohonan
Pemohon dan memberi izin kepada anak Pemohon (Pemohon II) untuk melangsungkan
perkawinan dengan Calon Suami Pemohon II.[5]
II. ANALISA
Penetapan Pengadilan Agama Pasir
Pengaraian mengenai dispensasi usia kawin dimana dalam memberikan dispensasi
usia kawin tersebut majelis hakim berpegangan dalam ketentuan-ketentuan Pasal
49 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Pasal 7 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Pemohon II dan Calon Suami Pemohon
II dalam salah satu dalilnya menyatakan bahwa Pemohon II dan Calon Suami
Pemohon II tidak sanggup menahan nafsu seksual dan takut terjerumus kepada
perbuatan yang dilarang agama atau berbuat zina. Dalil tersebut menjadi salah
satu dasar pertimbangan majelis hakim dalam memberikan dispensasi usia kawin
kepada Pemohon dan Pemohon II, namun Majelis Hakim tidak mempertimbangkan
akibat apa yang nantinya dapat ditimbulkan terhadap perkawinan anak di usia
yang sangat dini (14 Tahun 5 Bulan) tersebut baik dari sisi psychososialnya
hingga sisi kesehatan terhadap si anak.
Dalam jurnal yang dikeluarkan oleh
UNICEF mengenai “Early Marriage” menjelaskan
beberapa dampak yang di timbulkan dari perkawinan di usia yang sangat muda.
Implikasi yang dapat terjadi dalam aspek Psychosocial
dalam pernikahan di usia yang sangat muda sebagian besar belum siap menghadapi
peran mereka sebagai ibu dan kepala keluarga, ada tuntutan biaya yang harus
dapat ditanggung oleh pasangan tersebut dan hilangnya masa remaja yang
seharusnya berhak dilalui oleh setiap anak.[6] Dalam
aspek kesehatan remaja dan reproduksi, terdapat resiko yang besar terhadap
kehamilan di usia dini dan kelahirannya termasuk meningkatnya resiko kematian,
meningkatnya persalinan yang prematur, komplikasi pada saat kelahiran,
rendahnya berat badan pada saat kelahiran, dan tingginya persentase bayi yang
baru lahir tidak dapat bertahan hidup.[7]
Dilihat dari data tersebut mengenai
dampak yang dapat ditimbulkan dari perkawinan sudah sebaiknya Majelis Hakim
tidak mengabulkan permohonan Pemohon dan Pemohon II dengan dalil tidak sanggup
menahan nafsu seksual dan takut terjerumus kepada perbuatan yang dilarang agama
atau berbuat zina, saya rasa dalil tersebut tidak kuat sebagai sebuah alasan
untuk ditetapkan dispensasi usia kawin karena akan sangat berbahaya bagi
perkembangan si anak baik dari segi psychososialnya maupun segi kesehatan si
anak tersebut. Majelis Hakim juga harus mempertimbangkan ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang
menyatakan salah satu kewajiban orang tua dalam hal ini si Pemohon wajib
mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.
Penetapan dispensasi usia kawin yang
dikabulkan oleh majelis hakim juga turut berperan dalam tingginya angka
perkawinan dini di Indonesia yang justru berlawanan dengan semangat
perlindungan anak untuk mencegah perkawinan di usia dini. Majelis Hakim
diharapkan untuk lebih bijaksana dalam memberikan penetapan dispensasi usia
kawin, contohnya jika terjadi kehamilan di luar perkawinan sehingga
penetapan yang ditetapkan oleh Majelis Hakim juga melindungi si anak dari
dampak psychososial yang dapat ditimbulkan.
Comments
Post a Comment