Skip to main content

ORGAN TUBUH MANUSIA SEBAGAI OBJEK WASIAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA



ORGAN TUBUH MANUSIA SEBAGAI OBJEK WASIAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA


Ida Bagus Abhimantara, S.H.,M.Kn.


Latar Belakang        
      Perkembangan zaman yang kian cepat disaat yang sama juga berimplikasi terhadap cara pandang atau perspektif masyarakat yang juga turut berkembang ke arah yang lebih baik terutama dalam memandang suatu kehidupan agar bermanfaat bagi kemanusiaan. Setiap orang mempunyai hak dalam menentukan arah pikiran, begitu pula tindakan hasil dari pikirannya sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan, kesusilaan maupun norma yang hidup di dalam masyarakat. Cara pandang manusia sebagai hewan yang bijaksana lambat laun akan terus bergerak ke peradaban yang lebih baik dari peradaban sebelumnya, tidak hanya dalam menjalani kehidupannya namun juga bagaimana manusia menginginkan dirinya tetap bermanfaat setelah kematiannya. Tidak dapat dipungkiri keinginan manusia untuk dapat bermanfaat setelah kematiannya sering dituangkan ke dalam suatu konstruksi hukum yang disebut sebagai wasiat (testament).
         Wasiat (testament) yaitu pernyataan seseorang mengenai apa yang dikehendaki setelah meninggal dunia. Pada asasnya suatu pernyataan kemauan adalah datang dari satu pihak saja (eenzigdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Penarikan kembali itu (herrolpen) boleh secara tegas (uitdrukkelijk) atau secara diam-diam (stilzwijgend).[1] Dalam Pasal 875 Burgerlijk Wetboek (BW) wasiat atau testamen ialah suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan yang olehnya dapat dicabut kembali.  
         Sebuah wasiat harus berbentuk suatu tulisan yang dapat dibuat dengan akta autentik dan berisikan pernyataan kehendak yang dapat diartikan sebagai tindakan hukum sepihak. Artinya, pernyataan itu datang dari satu pihak saja, dengan demikian wasiat merupakan pernyataan mengenai apa yang diharapkan terjadi sesudah meninggalnya si pembuat wasiat. Jadi, wasiat merupakan kehendak terakhir yang baru mempunyai akibat hukum sesudah si pewaris meninggal dunia.[2]
         Objek wasiat secara umum berkaitan dengan benda-benda bergerak maupun tidak bergerak yang menjadi hak milik si pewaris, jika organ tubuh manusia akan dijadikan sebagai objek suatu wasiat tentunya wajib memperhatikan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) juncto Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2016 tentang Penyelanggaraan Transplantasi Organ (Permenkes 38/2016) yang dalam hal ini terkait dengan pemberi wasiat yang akan berposisi sebagai pendonor yang telah meninggal dunia atau disebut sebagai pendonor mati batang otak. Pemberi wasiat dapat mendonorkan organ tubuhnya secara langsung terhadap seseorang yang ditunjuk olehnya sendiri maupun terhadap institusi yang berkepentingan terhadap organ tubuh manusia, contohnya rumah sakit, bank mata ataupun universitas yang menyelenggarakan penelitian di bidang kesehatan yang dapat memanfaatkan organ tubuh tersebut sebagai cadaver.
         Dari uraian singkat di atas, terdapat isu hukum yang timbul terkait organ tubuh manusia sebagai objek wasiat, di mana perlu untuk diketahui posisi organ tubuh manusia sebagai objek dalam suatu perbuatan hukum agar pembuatan suatu surat wasiat tidak menyalahi konsep-konsep hukum yang ada dan bagaimana implikasinya terhadap bagian mutlak (legitieme portie) legitimaris pada objek wasiat.

Organ Tubuh Manusia Sebagai Benda Ditinjau Dari Burgerlijk Wetboek

         Pada umumnya objek dalam suatu perbuatan hukum yang dilakukan di dalam masyarakat berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak dan yang menjadi ciri khas suatu benda dalam ranah hukum adalah sesuatu yang dapat dikuasai oleh hak milik. Menurut Subekti, pengertian yang paling luas dari perkataan benda berarti (zaak) ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang. Disini benda berarti objek sebagai lawan dari subjek atau orang dalam hukum.[3] Istilah benda merupakan terjemahan dari kata zaak (belanda) atau material (inggris). Di dalam berbagai literatur dikenal tiga macam pengertian benda, yaitu :[4]
1.    sebagai barang yang dapat dilihat atau berwujud (pengertian sempit) ;
2.    sebagai kekayaan seseorang yang berupa hak dan penghasilan ;
3.    sebagai objek hukum, lawannya subjek hukum.
         Kebendaan diatur dalam buku kedua BW, Pasal 499 BW mendefinisikan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 503, 504, dan Pasal 505 BW telah ditentukan pembagian benda, Benda dalam ketentuan Pasal-Pasal tersebut dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1.    benda bertubuh dan tidak bertubuh (503 BW) ;
2.    benda bergerak dan tidak bergerak (504 BW).
         Suatu benda dapat tergolong dalam golongan benda yang tidak bergerak (onroerend) pertama karena sifatnya, kedua karena tujuan pemaikaiannya dan ketiga karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang.[5] Benda tidak bergerak berdasarkan sifatnya diatur dalam Pasal 506 BW, yang dimaksudkan sebagai benda tidak bergerak berdasarkan sifatnya adalah tanah dan semua hak yang berhubungan erat dengan yang melekat pada tanah tersebut, termasuk akar-akaran, tanaman, dan pohon-pohon yang melekat di atas tanah tersebut.
         Benda tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya adalah segala apa yang meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan itu untuk waktu yang agak lama. Misalnya mesin dalam suatu pabrik, rumah beserta isinya (cermin, lukisan, dan perhiasan-perhiasan lainnya), dan lain-lain (vide ; Pasal 507 BW).[6]
         Benda yang tidak bergerak karena demikian ditentukan oleh undang-undang, segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tidak bergerak.[7] Benda yang tidak bergerak karena ketentuan undang-undang misalnya, hak pakai hasil dan hak pakai atas kebendaan tidak bergerak, hak pengabdian tanah, hak numpang karang, hak usaha dan lain-lain.[8]
         Menurut Subekti[9] suatu benda yang bergerak karena sifatnya ialah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan, tergolong benda bergerak karena penetapan undang-undang ialah misalnya vruchtbruik dari suatu benda bergerak, lijfrenten, surat obligasi negara, dan sebagainya. Di dalam berbagai literatur dikenal empat macam benda, yaitu:[10]
1.    benda yang dapat diganti  dan yang tidak dapat diganti;
2.    benda yang dapat diperdagangkan  dan yang tidak dapat diperdagangkan atau di luar perdagangan;
3.    benda yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi;
4.    benda bergerak dan tidak bergerak.
         Dilihat dari apa yang telah diuraikan di atas, organ tubuh manusia sebagai objek dari suatu wasiat (testament) dapat dikategorikan sebagai benda yang tidak dapat diperdagangkan atau diluar perdagangan dan benda tidak bergerak karena sifatnya, hal ini cukup dapat dipahami sebab organ tubuh manusia termasuk sebagai benda diluar lalu lintas perdagangan yang artinya tidak dapat diperjualbelikan (diperdagangkan) oleh karena benda-benda tersebut adalah :[11]
1.    benda yang dilarang diperjualbelikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.    benda tersebut adalah benda yang dipergunakan untuk kepentingan umum, dan tidak dimaksudkan untuk dimiliki oleh orang peroangan atau badan kesatuan. Benda-benda ini pada umumnya dimiliki oleh Negara, tetapi tidak dapat dipergunakan oleh Negara dalam lapangan hukum perdata; atau
3.    benda tersebut adalah benda yang karena sifatnya tidak mungkin dimiliki, seperti udara bebas, air di laut, walau demikian tidak menutup kemungkinannya bahwa dengan suatu upaya atau cara tertentu, misalnya udara tersebut kemudian dimurnikan oksigennya, atau air laut tersebut kemudian dikelola lebih lanjut, maka udara dan air tersebut akan dapat menjadi milik seseorang yang dapat diperjualbelikan secara ekonomis. Benda yang disebutkan terakhir ini pada mulanya adalah benda yang tidak dimiliki atau res nullius.
Disisi lain organ tubuh manusia juga berposisi sebagai benda tidak bergerak karena sifatnya, di mana organ tubuh manusia akan selalu menjadi satu kesatuan dengan tubuh seseorang yang berarti karena sifatnya tersebut organ tubuh bukanlah benda bergerak melainkan benda yang tidak bergerak karena sifatnya.
         Wasiat yang dibuat dalam bentuk akta autentik yang objeknya adalah organ tubuh manusia dapat dilaksanakan karena organ tubuh manusia berposisi sebagai benda yang tidak dapat diperdagangkan atau diluar perdagangan dan benda tidak bergerak karena sifatnya, artinya peralihan organ tubuh manusia berdasarkan akta wasiat yang dibuat dihadapan Notaris adalah perbuatan hukum sepihak yang di mana pemberi wasiat menyatakan bahwa organ tubuhnya akan disumbangkan kepada seseorang atau institusi yang ditunjuk pada saat pemberi wasiat telah meninggal dunia yang secara terang dan jelas tidak terdapat unsur komersil dalam konstruksi hukum tersebut.

Legitime Portie Terhadap Organ Tubuh Manusia Yang Dijadikan Objek Wasiat
         Jika kita berbicara mengenai suatu wasiat, tentu erat kaitannya dengan lingkup hukum waris karena wasiat adalah pernyataan seseorang mengenai apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Terdapat beberapa pembatasan wasiat yang diatur dalam BW, antara lain :
a.    Fidei-commis yaitu suatu ketetapan waris, di mana orang yang diangkat sebagai ahli waris atau yang menerima hibah wasiat, diwajibkan untuk menyimpan barang-barang warisan atau hibahnya, untuk kemudian menyerahkannya, baik seluruh maupun sebagian kepada orang lain.[12] (vide; Pasal 879 BW) Fidei-commis diperbolehkan asal :
    i.    Yang menjadi pemikul beban (bezwaarde) adalah seorang anak atau lebih ;
    ii.   Yang menjadi penunggu (verwachter) adalah sekalian  anak/keturunan mereka masing masing, baik sudah maupun yang masih akan dilahirkan ;
    iii. Yang diberikan adalah bagian bebas (beschikbaardeel) daripada warisan.
b.    Suami istri yang menikah tanpa izin (vide; Pasal 901 BW) ;
c.    Istri pada perkawinan kedua (vide; Pasal  902 juncto Pasal 852a BW) ;
d.    Suatu ketetapan hibah wasiat yang jumlahnya melebihi hak pewaris dalam harta persatuan (vide; Pasal 903 BW) ;
e.    Tidak boleh menghibah wasiatkan untuk keuntungan walinya, para guru dan Imam,  dokter,  ahli penyembuhan,  ahli obat-obatan dan orang-orang lain yang menjalankan ilmu penyembuhan,  yang merawat pewaris selama ia menderita penyakit yang akhirnya menyebabkan ia meninggal,  para notaris dan saksi saksi dalam pembuatan Wasiat. (vide; Pasal 904-907 BW) ;
f.    Larangan pemberian wasiat kepada anak luar kawin yang jumlahnya melebihi bagiannya dalam pasal 863 BW (vide: Pasal 908 BW) ;
g.    Larangan pemberian wasiat kepada teman zinahnya yang telah terbukti dan putusan hakim tersebut telah berkekuatan hukum tetap (vide; Pasal 909 BW) ;
h.    Larangan pemberian kepada orang yang dijatuhi hukuman karena telah membunuh pewaris, orang yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan surat wasiat pewaris, atau orang yang dengan paksaan atau kekerasan telah menghalangi pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiatnya, serta istri atau suaminya dan anak anaknya (vide; Pasal 912 BW).
         Pemberi wasiat yang akan memberikan harta bendanya terhadap orang lain yang bukan ahli warisnya wajib memperhatikan legitieme portie yang dimiliki oleh para legitimaris. Legitieme portie atau bagian mutlak menurut undang-undang ialah bagian dan harta benda yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadap orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat, ketentuan tersebut tertcantum dalam Pasal 913 BW.
         Dalam melaksanakan isi dari surat wasiat yang dalam hal ini organ tubuh manusia sebagai objeknya, pemberi wasiat pada umumnya akan mencantumkan salah seorang ahli warisnya sebagai pelaksana wasiat, ketentuan tersebut diatur dalam suatu akta autentik yang dibuat dihadapan Notaris  dengan dihadiri oleh dua orang saksi (vide; Pasal 938 juncto Pasal 939 BW) dan dapat juga turut menghadirkan para ahli waris untuk mengetahui penandatanganan surat wasiat tersebut agar dikemudian hari tidak menimbulkan permasalahan hukum di antara para ahli waris.
         Dalam hukum waris berlaku suatu prinsip, bahwa yang berpindah di dalam pewarisan adalah kekayaan si pewaris. Yang dimaksud dengan kekayaan si pewaris adalah hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.[13] Artinya dalam suatu peristiwa hukum pewarisan yang beralih adalah seluruh hak dan kewajiban si pewaris, baik harta kekayaan maupun utang-utang yang dimiliki pewaris semasa hidupnya, seluruh hak dan kewajiban tersebut demi hukum beralih kepada ahli warisnya kecuali terhadap hal-hal yang diatur dalam Pasal 807, 1601, 1646 dan 1813 BW.
         Dari apa yang telah diuraikan di atas bahwa organ tubuh manusia sebagai objek wasiat yang wajib dilaksanakan perintahnya tidaklah merugikan para legitimaris oleh karena organ tubuh manusia bukanlah benda yang termasuk dalam lingkup harta kekayaan, telah dijelaskan sebelumnya organ tubuh manusia berposisi sebagai benda yang tidak dapat diperdagangkan atau diluar perdagangan yang berarti organ tubuh bukanlah objek warisan yang harus memperhatikan legitieme portie para legitimaris karena pada prinsipnya objek-objek yang beralih menurut pewarisan hanyalah objek yang terkait dengan harta kekayaan si pewaris yang dapat dinilai secara komersil sedangkan organ tubuh manusia bukanlah objek yang memiliki nilai komersil karena dengan tegas dilarang untuk diperjualbelikan berdasarkan Pasal 64 ayat (2) UU Kesehatan juncto Pasal 19 ayat (1) huruf g Permenkes 38/2016.

Kesimpulan
         Wasiat yang dibuat dalam bentuk akta autentik yang objeknya adalah organ tubuh manusia dapat dilaksanakan karena organ tubuh manusia berposisi sebagai benda yang tidak dapat diperdagangkan atau diluar perdagangan dan benda tidak bergerak karena sifatnya, artinya peralihan organ tubuh manusia berdasarkan akta wasiat yang dibuat dihadapan Notaris adalah perbuatan hukum sepihak yang di mana pemberi wasiat menyatakan bahwa organ tubuhnya akan disumbangkan kepada seseorang atau institusi yang ditunjuk pada saat pemberi wasiat telah meninggal dunia yang secara terang dan jelas tidak terdapat unsur komersil dalam konstruksi hukum tersebut.
         Organ tubuh manusia sebagai objek wasiat yang wajib dilaksanakan perintahnya tidaklah merugikan para legitimaris oleh karena organ tubuh manusia bukanlah benda yang termasuk dalam lingkup harta kekayaan, telah dijelaskan sebelumnya organ tubuh manusia berposisi sebagai benda yang tidak dapat diperdagangkan atau diluar perdagangan yang berarti organ tubuh bukanlah objek warisan yang harus memperhatikan legitieme portie para legitimaris karena pada prinsipnya objek-objek yang beralih menurut pewarisan hanyalah objek yang terkait dengan harta kekayaan si pewaris yang dapat dinilai secara komersil sedangkan organ tubuh manusia bukanlah objek yang memiliki nilai komersil karena dengan tegas dilarang untuk diperjualbelikan berdasarkan Pasal 64 ayat (2) UU Kesehatan juncto Pasal 19 ayat (1) huruf g Permenkes 38/2016.


[1] R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXXII, (Intermasa 1994), h.107
[2] P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Kencana 2015), h.267
[3] R. Subekti, Op.Cit., h.60.
[4]Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (RajawaliPress 2006), h.96.
[5]R. Subekti, Op.Cit., h.61.
[6]Salim H.S., Op.Cit., h.98.
[7]R. Subekti, Loc.Cit.
[8]Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi Kenikmatan, (Ind-Hill-Co 2005), h.44.
[9]R. Subekti, Op.cit., h.62.
[10]Salim H.S., Op.Cit., h.97.
[11]Kartini Muljadi dan Gunawan Wijaya, Kebendaan Pada Umumnya, (Prenada Media 2005), h.54.
[12] J. Satrio, Hukum Waris, (Alumni 1992), h.210-211
[13] P.N.H. Simanjuntak, Op.Cit., h.212

Comments

Popular posts from this blog

PERANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (LEGAL DRAFTING)

LATAR BELAKANG Perancangan peraturan perundang-undangan/Legal drafting dapat diartikan sebagai proses penyusunan kegiatan pembuatan peraturan yang dimulai dari perencanaan, persiapan,teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Peraturan perundang-undangan terdiri dari berbagai jenis yang sekaligus membentuk hirarki  peraturan perundang-undangan . Seluruh jenis peraturan perundang-undangan tersebut dirancang atau dirumuskan oleh kekuasaan legislatif bersama-sama dengan kekuasaan eksekutif, Dengan demikian kemampuan atau keahlian dalam merancang peraturan perundang-undangan merupakan suatu keharusan bagi aparatur pemerintahan yang berada di kedua lembaga tersebut. Terlebih lagi jika lingkup tugas dan kewenangannya senantiasa berhubungan dengan kepentingan publik. Akan tetapi, berbagai laporan menunjukkan bahwa masih banyak peraturan perundang-undang baik di tingkat pusat maupun daerah yang bermasalah, bahkan bertentangan satu sama

KAMPUS RASA PABRIK

       Mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi saat ini membuat institusi perguruan tinggi mendapat kritik dan protes bahkan dari mahasiswanya sendiri, baru-baru ini para mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Bali melakukan demo terhadap kebijakan kampus yang memungut biaya pendidikan yang dianggap terlalu mahal bagi para calon mahasiswanya dan diperparah dengan tidak adanya transparansi mengenai pengelolaan dana tersebut, setidaknya begitulah apa yang saya ketahui. Hal tersebut membuat saya teringat dengan kejadian beberapa bulan lalu yang sempat viral, di mana terdapat berita yang mengabarkan penangkapan terhadap beberapa mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Makasar, para mahasiswa tersebut ditangkap bukan karena melakukan tindakan kriminal namun karena mengkritik mahalnya biaya pendidikan di kampus dengan sebuah poster yang bertuliskan “KAMPUS RASA PABRIK”.             Bagi anak-anak zaman now mungkin tidak akan banyak yang paham apa m

TEPATKAH JIKA PERSEKUTUAN KOMANDITER (CV) MENJADI SUBYEK HAK GUNA BANGUNAN?

    Ida Bagus Abhimantara, S.H.,M.Kn. Dalam menjalankan roda perekonomian di masyarakat, aturan-aturan hukum tentunya harus dapat mengakomodir konsep-konsep yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengakomodir hal tersebut terbentuklah suatu konsep badan usaha yang lazim disebut sebagai perusahaan. Secara normatif definisi perusahaan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal Pasal 1 huruf b Undang-Undang nomor 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (selanjutnya disebut UU 3/1982) yang mendefinisikan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. Ada tiga jenis badan usaha yang telah kita kenal, yang pertama adalah perusahaan perorangan di mana perusahaan ini didirikan oleh satu orang saja, perusahaan perseorangan ini biasa disebut Perusahaan Dagang (PD)